TRIBUNNEWS.COM - Aksi demonstrasi menuntut Presiden Mesir Hosni Mubarak mundur dari jabatannya terus berlanjut. Sampai hari Sabtu (29/1/2011), sedikitnya 48 orang dilaporkan tewas dalam bentrokan antara demonstran dan polisi yang terjadi di sejumlah tempat di kota-kota utama di Mesir.
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Massa yang marah mengeroyok tiga polisi hingga tewas di kota Rafah, dekat Sinai. Di Kairo, polisi—yang dibenci masyarakat karena tindak represif terhadap rakyat selama ini—ditarik dari jalanan dan digantikan tentara Mesir.
Jumlah korban dikhawatirkan akan terus bertambah seiring makin beringasnya massa. Stasiun televisi Al-Jazeera melaporkan, polisi melepaskan tembakan ke arah massa yang berusaha menyerbu Gedung Kementerian Dalam Negeri di Kairo, Sabtu siang.
Penjarahan merajalela setelah sekitar 60 persen kantor polisi di Mesir dibakar massa. Bentrokan juga terjadi di kota pelabuhan utama Ismailiya, sebelah timur laut Kairo. Sementara massa di Alexandria menginap di masjid di tengah kota dan bersiap beraksi lagi.
Di Kairo, puluhan ribu warga menyerukan Presiden Mesir Hosni Mubarak segera mundur dan pergi dari Mesir. ”Kami datang ke sini untuk menyerukan, ’Kami tidak menginginkan kamu sama sekali, kami ingin kau keluar dari negara ini!’” seru pengacara Mohammed Osama (25), yang turut dalam aksi di Lapangan Tahrir, Kairo.
Massa mengacuhkan langkah pembubaran kabinet dan janji reformasi, yang diumumkan Mubarak melalui televisi nasional, Sabtu selepas tengah malam. Mubarak berjanji segera membentuk pemerintahan baru, tetapi menegaskan tak akan mundur dari kursi presiden yang sudah ia duduki 30 tahun.
Rakyat Mesir menunggu- nunggu apakah Mubarak akan menunjuk kembali Menteri Dalam Negeri Habib Al-Adly, pejabat yang membawahi kepolisian dan orang paling dibenci rakyat Mesir. Meski demikian, sebagian besar rakyat menganggap pernyataan dan janji Mubarak sudah terlambat dan menuntut presiden berusia 82 tahun itu segera lengser.
”Presiden Mubarak tidak memahami pesan yang disampaikan rakyat Mesir. Pidatonya sangat mengecewakan. Protes akan terus berlanjut sampai rezim Mubarak tumbang,” tandas pemimpin oposisi Mesir, Mohamed ElBaradei, kepada stasiun televisi France24.
ElBaradei mengaku siap memimpin pemerintahan transisi jika diminta dan akan ikut aksi demonstrasi untuk memaksa Mubarak turun.
Kelompok oposisi yang dilarang pemerintah, Persaudaraan Muslim (Moslem Brotherhood), Sabtu, menyerukan agar transisi kekuasaan berjalan secara damai dengan pembentukan kabinet peralihan. Sebanyak 50 tokoh pemimpin Persaudaraan Muslim termasuk dalam 350 orang yang ditangkap aparat pemerintah Mesir, Jumat.
Hari Sabtu, sebagian jaringan telepon seluler mulai aktif kembali, tetapi jaringan internet masih diputus pemerintah.
Reaksi dunia
Presiden AS Barack Obama mendesak pihak berwenang di Mesir tidak melanjutkan menggunakan kekerasan untuk menghadapi para demonstran. Pesan Obama itu disampaikan saat ia menelepon Mubarak secara pribadi selama 30 menit.
Obama mendesak Mubarak mengambil langkah konkret menuju reformasi politik di Mesir dan agar Mubarak mengubah ”momen kegentingan” menjadi ”momen pengharapan”. Washington juga mengancam akan meninjau ulang bantuan bernilai miliaran dollar AS yang selama ini diberikan kepada Mesir apabila aparat keamanan negara itu bertindak kelewat batas terhadap para demonstran.
Mesir adalah salah satu sekutu utama AS di Timur Tengah dan salah satu penerima bantuan AS terbesar di dunia. Tiap tahun, AS menyuplai bantuan 1,3 miliar dollar AS khusus di sektor pertahanan saja.
Senator John Kerry, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS, di sela-sela pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, juga menyatakan, Presiden Mubarak harus mengambil langkah yang akan dianggap berarti bagi rakyat Mesir. ”Membubarkan pemerintahan saja tidak bermakna apa pun. Menurut saya, dia harus berbicara mengenai berbagai masalah yang benar-benar dirasakan rakyat,” tutur Kerry.
Pernyataan senada juga disampaikan Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, Sabtu. Ia mendesak Mubarak menaruh perhatian serius terhadap tuntutan rakyat Mesir. Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris David Cameron, yang juga sedang menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos, mengatakan, Mesir membutuhkan reformasi.
”Dia harus memanfaatkan momen ini untuk membuat reformasi yang nyata, dan mendasarkan reformasi itu pada nilai-nilai universal yang menjadi hak setiap warga negara di dunia ini,” ujar Hague.
Meski demikian, tak semua pemimpin dunia mendukung pengunduran diri Mubarak. Raja Abdullah dari Arab Saudi mendukung Presiden Mubarak dan menyayangkan pihak-pihak yang telah mengganggu stabilitas dan keamanan Mesir. Sabtu pagi, Raja Abdullah menelepon Mubarak dari Maroko, tempat ia baru saja menjalani operasi tulang belakang.
Menurut kantor berita SPA, Raja Abdullah mengecam para pengacau yang telah mengganggu keamanan dan stabilitas Mesir dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi.
Israel, yang berbatasan langsung dengan Mesir dan menjalin hubungan baik dengan pemerintahan Mubarak selama ini, juga khawatir apabila terjadi perubahan rezim di Mesir, karena itu berarti Israel akan kehilangan satu ”teman” lagi di Timur Tengah dan harus memikirkan strategi baru serta bernegosiasi ulang dengan penguasa Mesir yang baru.
Editor: Anwar Sadat Guna | Sumber: Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar